Menyulam Kelam (Bagian 1) - Bilik Sastra
Headlines News :
Home » » Menyulam Kelam (Bagian 1)

Menyulam Kelam (Bagian 1)

Written By rumah karya on Selasa, 12 Oktober 2010 | 16.22

“Kamu kemana saja?” Tanya kak Hamid kesal. “Bapak itu tidak punya banyak waktu. Ini, kamu malah menyia-nyiakannya.” Terus memarahiku yang baru datang dari luar.
“Sekarang beliau kemana, Kak?”
“Ke kantor DPRD. Sekarang kamu susul saja ke sana!”
“Ya udah deh, sekarang saya susul ke sana.”
Aku bangkit dari duduk. Beranjak pergi, meninggalkan kak Hamid yang sewot. Kak Hamid adalah sepupuku yang kuliah di STKIP (Sekolah Tinggi Kejuruan dan Ilmu Pengetahuan) yang berada tak jauh dari Sekolahku. Untuk memastikan posisi, benar atau tidaknya bapak tersebut di kantor DPRD, terlebih dahulu aku menghubungi via handphone. Dan ternyata benar, beliau di sana.
Untuk menuju tempat tujuan, aku menggunakan ojek, biar cepat. Angkot tidak bisa diharapkan, rutenya mutar-mutar. Buang waktu. Walaupun harganya lebih, tak masalah. Yang penting cepat sampai dan bertemu dengan beliau. Seperempat jam kemudian aku telah sampai di sana.
“Titit... titit... titit….”
Handphoneku berbunyi. Ada pesan masuk.

“Silahkan tnggu stngh jam. Saya sdg rpt.”
Menunggu adalah hal yang paling membosankan. Meski cuma setengah jam.
“Huh.”
Kupandangi pelataran kantor DPRD yang membentang bisu. Mobil-mobil mewah barjejer. Mengkilat. Parkir rapi. Pohon-pohon pinang berderet-deret. Jikalau memandang kantor dari luar, akan tersamat. Yang kelihatan hanya bagian tengah dan atas gedung. Sedangkan bagian bawah tertutup. Di balik pagar, dengan diapit oleh pohon-pohon pinang, tegak sebuah plang putih bertuliskan, ‘Kantor Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Tingkat I, Padang, Sumatera Barat,’. Bonsai-bosai layaknya tentara yang melakukan pagar betis, berdiri rapat, melingkari bangunan. Satpam berjaga sambil bercanda. Berisik. Memecah kebisuan sekitar.
Di luar gerbang. Aku berusaha mengendalikan diri dengan memurajaah hafalan yang cuma satu juz. Sesekali memencet kipet handphone, otak-atik. Dalam menghilangkan kejemuan, kita harus jeli, kalau tidak ingin stres.

“Maaf, Dik. Numpang tanya.”
Ada suara yang menegur. Aku sedikit kaget. Bacaanku terhenti. Bangkit mencari asal suara. Rupanya suara itu berasal dari arah belakang. Tampak seorang pemuda berdiri. Ikal. Sipit. Pesek. Baju ke dalam. Rapi. Celana jeans hitam. Kaos oblong putih.
“Maaf, Dik.” Kembali ia menegur.
“Eh, I...ya. Ada yang bisa saya bantu.” Sedikit tergagap.
“Adik tahu alamat ini?” Menyodorkan kertas putih kusut. Bersegi banyak. Tinta hitam.
“Profesor Doktor Harun Nasution, MA. Dosen senior Universitas Andalas.” Gumamku setelah membaca kertas lusuh tersebut.
“Iya.”
Sejenak aku berpikir.
“Maaf, Bang. Saya tidak tahu.“ Memberikan kembali kertas itu.
Tampak ada gurat kecewa dari rautnya, karena tak menemukan alamat yang dituju. Aku dan dia terdiam sejenak. Pandanganku menggerayang menyapu jalanan. Mobil lalu lalang. Kencang. Para sopir angkot saling berlomba mencari penumpang. Bersaing. Siapa cepat dia dapat. Cara yang sehat.
“Mungkin bisa ditanya kepada orang itu!” Saranku. Memecah kebisuan. Menunjuk kearah orang yang lewat. Dia hanya mengangguk pelan.
Orang itu mendekat.
“Maaf, Pak. Mau numpang tanya?”
Orang itu menghentikan langkahnya, tepat di hadapan kami. Tubuhnya kurus. Tinggi. Kumis tipis. Kaca mata bening menghimpit hidungnya yang mancung. Cocok. Sepatu hitam mengkilat. Celana licin hitam. Kemeja kotak-kotak kuning. membuat wajahnya yang cerah tambah cerah.
“Iya, ada yang bisa saya bantu?”
Pemuda tersebut menyerahkan kertas lusuh tadi.
“Saya baru datang dari Pasaman Barat. Saya ke sini mencari alamat itu.” ia menerangkan sambil menunjuk ke kertas yang berada di tangan si Bapak
“Pak Harun Nasution?” Tanyanya.
“Iya, apa Bapak tahu alamatnya?”
Bapak kurus tinggi tersebut berpikir sejenak. Keningnya berkerut. Matanya menerawang, seakan ingin menembus ruang. Sejurus kemudian.
“Apakah yang Adik maksud, Pak Harun Nasution lulusan Amerika?”
“Ya. Lulusan Amerika” Jawab pemuda tersebut tanpa keraguan, sekaligus menguatkan.
“Beliau sudah beberapa kali mendapat penghargaan dari pemerintah, karena sumbangsihnya dalam pendidikan. Dan sekarang mengajar di Universitas ANDALAS.” Tambah orang itu panjang lebar.
“Tepat, tepat sekali yang Bapak katakan.” Berbinar wajah pemuda itu. “Beliau juga dosen terbang di Institut Teknologi Bandung.” Tambahnya.
“Setahu saya begitu.” Bapak tersebut menguatkan.
“Kalau saya boleh tahu, nama Bapak siapa?”
“Saya Muhammad Hasan. Panggil saja Pak Hasan.”
Melihat tampang ia memang jauh lebih tua dari pria baju oblong.
“Saya Arta.”
Kini mereka sudah mulai akrab satu sama lain. Obrolan mereka sudah lepas, tidak ada sekat. Arah pembicaraanpun sudah mulai ke masalah pribadi, bagaimana keluarga? Apakah sudah punya istri? berapa bersaudara? pekerjaan apa? Dan yang terakhir, saling tukar alamat dan nomor handpon. Alamat pak Harun Nasution dijelaskan dengan sangat rinci, seperti menjelaskan alamat rumahnya sendiri, hafal sampai ketitik-titik kecilnya.
“Ngomong-ngomong, Dik Arta mencari pak Harun ada urusan apa?”
Meski kini mereka telah akrab satu sama lain. Mendapat pertanyaan itu, pria bernama Arta tersebut terdiam. Keningnya berkerut, berpikir. Ada satu keraguan.
“Sebenarnya saya tidak boleh mengatakannya, karena ini sangat sensitif, bila diketahui orang. Tapi, karena Bapak dan Adik telah membantu saya, baiklah. Tapi, sebelumnya saya berharap, untuk merahasiakan hal ini. Cukup kita bertiga yang tahu. Sekarang kita buat kesepakatan, bagaimana?”
“Kalau itu rahasia, sebaiknya jangan diceritakan saja, Bang.” Aku angkat bicara.
“Tidak apa-apa. Sudah terlanjur. Sekarang saya hanya butuh kesepatan dari kalian berdua, bagaimana?” Kembali ia mengulangi pertanyaannya.
“Baiklah.” Jawab kami bersamaan.
“Begini….” Ia memulai bercerita, sambil menyapu pandangan kesekeliling, kali-kali ada orang lain yang mendengar.
“Sebagaimana diketahui, Pak Harun merupakan orang kaya. Dia memiliki banyak kebun sawit yang berpuluh-puluh hektar. Di setiap kecamatan yang ada di Pasaman Barat terdapat kebun sawitnya. Belum lagi di luar Pasaman, seperti di Solok, Bengkulu, Jambi dan Riau. Saya bekerja di salah satu kebun sawitnya yang terletak di Pasaman Barat, sebagai penanam bibit, terkadang juga sebagai pemupuk. Seperti biasa, saya berangkat kerja pagi-pagi, membawa bibit-bibit sawit dengan Traktor. Setibanya di tempat, sebelum menanam sawit, terlebih dahulu saya menggali tanah yang akan dijadikan tempat penanaman. Lebih kurang empat jam saya melakukan penanaman, semuanya berjalan lancar. Sampai pada galian yang terakhir. Cangkul saya berbenturan dengan benda keras yang membuat tangan saya nyeri dan kesemutan. Semula saya menyangka benda tersebut batu. Tapi, setelah saya gali, terrnyata dugaan saya salah.”
Ia berhenti sejenak. Mengambil udara memenuhi paru-paru. Kemudian ditarik dalam-dalam, terakhir dihempaskannya tanpa beban.
“Ternyata benda tersebut sebuah guci kecil. Lusuh kecoklat-coklatan. Saya sendiri tidak tahu, terbuat dari apa guci itu. Dan yang lebih membuat saya kaget, adalah dari dalamnya keluar sinar yang dipantulkan cahaya matahari. Penasaran saya bertambah. Saya keluarkan benda tersebut dari dalam guci. Bagai disengat ular berbisa, saya terperanjat bukan alang-kepalang ketika mengetahui apa yang saya keluarkan.”
Kembali ia menarik napas. Kali ini lebih panjang. Wajahnya yang tegang tambah menegang. Sesekali ia menyapu pandangan ke sekeliling. Dari rautnya jelas bahwa itu sangat rahasia.
“Isinya sekeping emas. Bulat. Bermata dua. Dan, di salah satu matanya bertuliskan kalimat ‘lailahaillallah.’ Di atas kalimat tersebut, memanjang sebuah garis berbentuk pedang. Di mata yang satunya lagi, menggores tulisan-tulisan Arab yang saya sendiri tidak tahu maksudnya.”
Wajahnya berkeringat. Bulir-bulir bening mencuat dari pori-pori wajahnya. Kami tegang. Tatapanku tetap pada satu titik, memperhatikannya.
“Dan malamnya saya bermimpi, bertemu dengan seorang kakek tua, pakaiannya serba putih, sorban. Mulai dari ujung kepala sampai kaki. Wajahnya bersinar, menandakan bahwa ia orang yang taat. Dia berkata, ‘Benda tersebut bukanlah hak milikmu. Kamu hanyalah perantara yang akan memberikannya kepada yang berhak, yaitu tuan Sawit ini. Atau, orang beruntung yang kamu temui pertama kali ketika menyerahkannya. Dan sebagai imbalan atas jerihmu, mintalah sesuatu yang setimpal kepadanya. Sekarang, laksanakanlah. Jangan menunggu. Karena semakin lama benda yang bukan hakmu ini ditanganmu, akan semakin menambah kesulitan.’ Tetapi saya mengabaikan pesan tersebut. Saya tidak percaya. Akibatnya, apa yang dikatakan kakek tersebut terbukti, anak saya sakit keras. Sekarang ada di sini, di Rumah Sakit M Djamil Padang.
“Astaughfirullah.”
Aku tersentak kaget, tanpa tahu perasaan apa yang sedang berkecamuk. Pak Hasan lebih terperanjat lagi. Kalau tidak ada pelindung jantungnya, mungkin sudah ikut terbang bersama kekagetannya.
“Setelah kejadian itu, baru saya menjalankan apa yang diperintahkan. Sorenya saya ke sini. Dan paginya menyempatkan diri membawa anak ke rumah sakit, sebelum akhirnya saya pergi menjalankan amanah. Dalam perjalanan, saya bertemu dengan Adik ini, dan Bapak.”
Pak Hasan menganguk-angguk. Dari yang semula tegang, kini mulai mengendor. Raut kami tidak mengombak lagi.
“Bagaimana dengan Anak ‘Dik Arta?” pak Hasan bertanya. Dan arah pembicaraan sedikit begeser.
“Saya sangat khawatir terhadap kesehatannya. Pihak rumah sakit belum mau menangani, lantaran uang registrsi belum cukup. Untuk itu, saya mempercepat mencari tahu alamat ini.” Membuka kepalan tangannya yang memegang kertas krenyok itu.
“Sekarang, apa yang akan Adik lakukan?”
“Saya akan ke alamat ini, Indaruang. Memberikan benda tersebut. Dan meminta imbalan yang setimpal.”
“Apakah waktunya cukup, ‘Dik Arta? Sementara alamat yang akan dituju membutuhkan waktu yang lama. Belum lagi macet.” Pak Hasan memberi pertimbangan.
Laki-laki yang dipanggil Arta tersebut diam. Membenarkan apa yang dikatakan pak Hasan. Semua diam. Sementara mobil semakin ramai beseliweran. Berbagai kernek angkot berteriak-teriak menarik penumpang.
“O ya.” Pak Hasan memecah keheningan. Semua mata tertuju padanya. “Bukankah dalam mimpi ‘Dik Arta, kakek berpakaian serba putih itu menyebut ‘atau orang beruntung yang pertama kali dijumpai.’”
Aku keget. Bukankah orang itu adalah aku. Akukah orang yang beruntung itu?
“Iya ya. Saya hampir lupa.” Laki-laki tersebut seperti diingatkan. “Benar apa yang dikatakan pak Hasan. Meminta imbalan bukan hanya kepada pemilik kebun, tapi juga bisa kepada yang pertama kali ditemui, yaitu Adik ini.”
Titik pandang beralih kepadaku. Aku tersentak kecil. Tapi kemudian bisa menenangkan diri.
“Bagaimana, ‘Dik? Apakah Adik setuju? Laki-laki tersebut memberikan tawaran.
“Setujui saja, ‘Dik.” Pak Hasan menguatkan. “Lagi pula, ‘Dik Arta ini butuh dana yang mendesak untuk pengobatan anaknya. Kalau tidak segera, dikhawatirkan akan terjadi sesuatu pada anaknya!”
Aku sebenarnya agak keberatan atas permintaan itu. Tapi, aku tidak tega melihat ada orang yang kesusahan. Masalahnya aku tidak bawa apa-apa, apa yang akan aku berikan, hanya handpone Nokia 1600 ini.
“Baiklah, Bang. Saya akan bantu. Tapi, saya tidak punya uang. Mungkin hanpone ini bisa membantu.”
“Tidak apa-apa, ‘Dik. Itu sudah sangat membantu.” Jawabnya kembali ceria.
“O ya, sebelumnya saya akan menyerahkan benda ini.” Merogoh saku celananya. Mengeluarkan sesuatu yang dibalut kain lusuh.
“Ini, ‘Dik. Ambillah! Dengan demikian tugas saya selesai.” Ia menyerahkan benda itu. Aku sendiri tidak tahu pasti apa isinya. Hanya mendengar dari penuturannya saja.
“Maaf, Bang. Saya tidak bisa menerima benda itu. Abang simpan saja. Yang jelas Abang sudah menjalankan amanah.”
“Tidak, Dik. Benda ini menjadi hak milik Adik. Jika Adik menjualnya, akan mendapatkan uang yang banyak.” Mendengar perkataannya itu, pintu-pintu nafsu terbuka lebar. Tergiur. Terlebih lagi aku sedang butuh dana tambahan untuk ke Mesir.
“Baiklah kalau begitu.” Aku menyetujui. Kamipun melakukan serah terima. Aku julurkan tangan, memberikan. Diapun menyodorkan benda itu. Bersamaan dengan itu, handphoneku berdering. Kutarik kembali tangan yang terlanjur terjulur itu. Dan melihat siapa yang memanggil.
“Aih, pak Masparasit.” Desisku senang. Orang yang sudah aku tunggu satu jam kurang. Walaupun perjanjiannya setengah jam. Tapi, mungkin acara beliau baru selesai. Tidak apalah.
“Kemana saja. Saya sudah di depan gerbang.” Terdengar suara dari seberang sana menegurku. Kupandangi tempatku berdiri sekarang, rupanya tidak di depan gerbang lagi. Sudah menjauh. Cerita yang dituturkan laki-laki penemu koin emas itu, membuat semua tidak terasa. Terlalu asyik untuk didengar.
“I...ya, pak. Saya segera ke sana.” Jawabku sedikit gagap.
Kusapu sosok di depan yang tampak bingung.
“Maaf, Bang. Saya ada janjian. Silahkan ditunggu. Nanti saya kembali lagi.”
“Tapi, Dik….”
Aku berlari kecil menuju pintu gerbang tempat pak Masparasit menunggu. Suara lelaki tersebut tidak terlalu aku perhatikan. Aku sangat tidak enak dengan pak Masparasit yang menunggu untuk yang ke-dua kalinya. Nanti beliau pergi lagi. Menunggukan hal paling membosankan.
Di pintu gerbang, tegak sebuah mobil kijang biru. Kuamati mobil itu dengan teliti. Apa mungkin itu mobil beliau?
“Hei! ngapain bengong di situ? Ayo!” Terdengar suara memanggil. Kumelangkah mendekati mobil itu. Dari kaca yang terbuka, kulihat dua orang laki-laki duduk di jok depan, mengenakan koko hijau, dan kopiah meletak di kepala. Sedangkan yang satunya lagi, seorang laki-laki paruh baya dengan kemeja putih kotak-kotak, memegang stir. Kalau aku tebak, pak Masparasit adalah yang borkoko hijau dan berkopiah. Dari penampilan serta auranya terlihat. Sedang di belakang, duduk seorang wanita dengan gaun batik-batik oren berbaur jingga dengan jilbab mekat di kepala.
“Yah, bengong lagikan. Ayo naik.” Suara pak Masparasit membuyarkan lamunanku.
Aku sedikit bimbang untuk naik. Teringat dua orang tadi. Apalagi yang satunya butuh pertolongan. Juga tawaran itu. Tapi, aku tak berani membantah ajakan pak Masparasit. Takut, nanti beliau marah. Akhirnya kunaik. Aku duduk di belakang, di samping wanita bergaun indah tersebut. Usianya juga paruh baya. Mungkin dia istri dari pak Masparasit. Perlahan mobil mulai berjalan. Kulihat dua orang tadi dari jendela sedang bercakap-cakap. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku merasa tidak enak.

“Saya itu sibuk. Tidak punya banyak waktu.” Pak Masparasit membuka pembicaraan.
“Iya, pak. Saya minta maaf. Saya mengaku salah.” Kembali menyesali keegoaanku. Mendahulukan pekerjaan yang tidak terlalu penting, mengambil jahitan.
“Ya sudah. Tidak apa-apa.”
Dari dalam jendela mobil, pagar-pagar rumah menjauh. Titik-titik kecil di depan semakin besar. Sementara daripada itu, aku kembali teringat dengan orang yang mebutuhkan pertolongan tadi, anaknya sakit. Ingin segera kuceritakan semua itu. Sekaligus menumpahkan beban tidak enak. Lidahku kelu. Ragu. Segan.
“Pak, tadi ada orang yang membutuhkan pertolongan. Dia datang dari Pasaman Barat.” Akhirnya aku meberanikan diri buka mulut. Kuceritakan kembali semua yang kudengar. Tidak ada satu katapun yang tercecer. Dengan gamblang dan jelas. Terus terang, jika sesuatu itu menarik, satu katapun tidak akan hilang dari ingatanku.
Semuanya tersenyum. Aku heran melihat mereka. Seakan mereka ingin tertawa mendengar ceritaku. Apanya yang lucu. Aku jadi bingung.
“Itu cerita basi. Cerita biasa, yang sering digunakan para penipu.”
“Cesss…”
Berdesir dadaku mendengar jawaban singkat itu. Seakan ada yang meleleh dari dalam dada.
“Cerita basi yang sering digunakan penipu?” Kembali aku mengulangi. Dengan nada tidak percaya. Seakan kurang jelas apa yang barusan dikatakan.
“Ya, cerita basi.” Kembali dipertegas. Sekarang coba kamu renungkan, apa yang barusan menimpamu. Masuk akal tidak? Koin emas. Kakek tua. Minta imbalan. Anak sakit. Coba kamu hubungkan semuanya. Apakah benar demikian?”
Aku sedikit terpekur. Terhenyak. Merenungkan kembali apa yang dikatakan sopir pak Masparasit.
“Astaughfirullah.”
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Template Information

Label 6

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Bilik Sastra - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template