Merajut Indahnya Persaudaraan - Bilik Sastra
Headlines News :
Home » » Merajut Indahnya Persaudaraan

Merajut Indahnya Persaudaraan

Written By rumah karya on Selasa, 20 September 2011 | 16.16


Ada sebuah kekuatan yang meretas pada saat Rasulullah Saw. masih hidup dan kekuatan itu kemudian menjalar pada jiwa-jiwa sahabat. Yang saya maksudkan adalah kekuatan persaudaraan seperti yang ditunjukkan secara sempurna oleh penduduk di Kota Madinah, kaum Anshar, terhadap orang-orang pendatang yang terusir dari Kota Makkah, kaum Muhajirin. Orang-orang Anshar dengan hati lapang dan penuh keikhlasan membantu saudara-saudaranya dari Makkah. Mereka siap membagi apa pun yang mereka miliki demi meringankan penderitaan kaum Muhajirin. Bahkan, Sa’ad bin Rabi’ dari Anshar selain membagi harta, juga menawarkan istrinya pada Abdurrahman bin ‘Auf yang Muhajirin.

Refleksi persaudaraan yang juga ditunjukkan Umar bin Khattab saat ia teringat salah satu sahabatnya. Hati Umar gelisah menahan rindu ingin bertemu sahabat itu. Cerita tentang kegelisahan Umar terdapat dalam riwayat Imam Ahmad dalam kitab Az-Zuhud, bahwa pada suatu malam Umar merasa ada yang kurang, “Mengapa malam terasa begitu panjang?”, gumam Umar. Setelah menunaikan salat Subuh, ia langsung mengunjungi sahabat yang ia rindukan itu. Ketika bersua, Umar merangkulnya erat, seakan enggan berpisah.

Ukhuwah yang teretas di masa Rasul itu adalah bentuk persaudaraan yang didorong oleh kekuatan cinta yang diikat karena iman kepada Allah. Dari sanalah kekuatan ukhuwah itu memekar. Dengan ukhuwah maka hidup menjadi lebih berarti, saling mengasihi satu sama lain, saling meringankan beratnya beban, saling membantu yang membutuhkan dan melegakan yang resah.

Seperti yang tergambar dalam suatu kisah, ketika seorang laki-laki datang pada Rasulullah Saw. seraya berkata “Wahai Rasulullah, saat ini saya dalam kesusahan”, ujar laki-laki itu mengadukan nasibnya. Kemudian dia diminta mendatangi rumah istri-istri Nabi Saw., namun ia tidak menemukan bantuan, karena mereka juga tidak memiliki apa-apa. Rasulullah Saw. menawarkan kepada para sahabat perihal kondisi orang itu, “Adakah yang mau menjamunya malam ini? Semoga Allah merahmatinya”, tawar Rasulullah Saw., “Saya wahai Rasulullah,” jawab Abu Thalhah Al-Anshory. Ia lantas membawa tamu tersebut ke rumahnya, sesampainya di rumah ia meminta istrinya menyiapkan jamuan makan. “Ini tamu Rasulullah Saw., sediakan jamuan untuknya dan jangan disisakan,” bisik Abu Thalhah ke telinga istrinya. “Tapi kita tidak punya makanan apapun kecuali makanan untuk anak-anak,” istri Thalhah menimpali. “Jika anak-anak minta makan, ajaklah mereka tidur. Lalu matikan lampu. Biarlah kita sekeluarga lapar malam ini“.

Sikap Abu Thalhah keesokan harinya mendapat apresiasi Rasulullah, padahal beliau sendiri sama sekali tidak berniat untuk memperoleh pujian karena menjamu tamu tadi malam. Tentu saja, apa yang dilakukan oleh Abu Thalhah adalah sebuah cerminan tentang persaudaraan yang telah memupus keegoan diri. Berganti dengan sikap untuk selalu mengedepankan kepentingan orang lain ketimbang kebutuhan diri sendiri. Model persaudaraan seperti itulah yang menjadi acuan kita dalam membina hubungan baik dengan orang lain, apalagi dengan saudara kita yang seakidah.


Memotret Realitas Ukhuwah di Mesir

Makna persaudaraan yang saya rasakan di Cairo berlahan seakan memudar, barangkali pudarnya ukhuwah itu akibat digerus oleh sikap ingin selalu mementingkan diri sendiri. Walaupun deskripsi ini masih sebagai simpulan subyektif penulis sendiri yang barangkali akan berbeda dengan simpulan orang lain. Malah, terkadang saya mencoba menghibur diri dengan interpretasi baru menyamakan kondisi yang terjadi dengan keadaan Islam di akhir jaman. Dimana agama ini akan menjadi sesuatu yang asing dan mulai ditinggalkan oleh orang-orang. Maka, makna persaudaraan atas nama Islam juga kemudian terasa menjadi asing, bisa disebabkan oleh perilaku orang-orang muslim sendiri yang mulai mengabaikan nasib saudaranya.

Kehadiran saudara atau teman ketika kita berada jauh dari tanah air menjadi sangat berarti. Kehadiran mereka akan mengganti posisi keluarga yang kini sangat jauh di mata. Dengan begitu kita ingin membina jalinan persaudaraan yang tidak lagi tersekat oleh batas teritorial atau kedaerahan. Hubungan ukhuwah yang kita bina menembus semua sekat yang memagar. Kita mengumpul bersama dalam sebuah naungan dan jalinan persaudaraan atas nama Islam, sebagaimana dulu di masa Baginda Rasulullah. Itu karena persaudaraan dalam Islam tidak mengenal batas apa pun. Saya melihat sebagian persaudaraan yang kita bina masih memprioritaskan unsur teritorial. Unsur itulah yang mengakibatkan sebagian kita sedikit enggan membantu saudaranya yang lain. Malah, terkadang yang sesama teritorial juga sudah tidak saling membantu.

Menurut saya ini akan menjadi kontras apabila kita mencoba merenungi bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia yang berada di Cairo menuntut ilmu agama di Al-Azhar. Al-Azhar sendiri merupakan corong ilmu-ilmu keislaman yang seharusnya bisa menjadi pendorong utama untuk mengaplikasikan makna ukhuwah. Kita pun tidak menginginkan apabila muatan ilmu yang kita peroleh tentang persaudaraan hanya mengerucut sebagai teori belaka, tanpa menghadirkan perwujudan realitas yang kita idam-idamkan mengenai tuntutan persaudaraan dalam Islam.

Apalagi disini, jika kita mau belajar dengan baik, banyak sekali terdapat ulama dan buku-buku Islam yang menjelaskan tentang makna ukhuwah. Bukankah model ilmu aplikatif yang kita obsesikan akan kita tularkan ke masyarakat Indonesia nanti? Dengan adanya berbagai delegasi dari seluruh nusantara di Cairo ini, seharusnya bisa menjembatani bakal teretasnya persaudaraan yang lebih utuh. Tidak malah membuat jurang pemisah yang lebar dengan menumbuhkan fanatisme terhadap hal-hal yang dilarang oleh Islam sendiri. Persaudaraan yang tidak lagi terbatas oleh sekat teritorial, namun telah beranjak kepada ukhuwah yang memiliki kandungan makna yang lebih tinggi, yaitu persaudaraan karena Islam.

Dari sinilah Persaudaraan Dibina

Melihat besarnya jumlah mahasiswa yang menuntut ilmu di Mesir ini, dan untuk memudahkan komunikasi dengan berbagai lapisan yang beragam, sudah sangat patut kemudian didirikan berbagai wadah untuk menyatukan. Dari PPMI sebagai organisasi induk, kekeluargaan, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di setiap propinsi di Mesir. Setiap wadah memiliki tanggungjawab untuk memperhatikan kondisi saudaranya di lingkungan masing-masing dengan menggunakan berbagai macam sarana kegiatan.

Walaupun diakui bahwa kekeluargaan secara tidak langsung memang membuat sekat yang membatasi komunikasi dengan organisasi kedaerahan yang lain. Di mana satu kekeluargaan, anggotanya biasanya hanya akan berkomunikasi aktif dengan anggota kekeluargaannya saja. Komunikasi dengan anggota kekeluargaan yang lain sedikit renggang. Hal ini barangkali disebabkan karena intentitas pertemuaan yang sedikit. Berbeda halnya dengan DPD, hampir semua lapisan masyarakat dapat menyatu dalam satu kesatuan. Hal itu mungkin disebabkan jumlah anggota yang sedikit dan tingkat pertemuan yang lebih banyak yang mengharuskan setiap orang harus melebur dengan orang lain.

Namun, sebenarnya itu bukanlah suatu polemik, jika kita mau mengamalkan perintah Rasulullah Saw. Model amal yang mudah untuk dilaksanakan. Tidak menjadi persoalan apakah kemudian kita tersekat oleh ragam organisasi, tetapi semua bentuk itu hanya formalitas. Sebab, kita lebih disatukan oleh jalinan yang lebih erat ketimbang jalinan-jalinan itu tadi. Amal yang saya maksud adalah silaturrahim. Silaturrahim ini begitu mudah akan mendekatkan hati-hati kita yang jauh. Sebab, kadang kala komunikasi yang tidak aktif sering merenggangkan hubungan. Walaupun juga bukan berarti orang yang sering mengadakan komunikasi tidak rentan oleh permasalahan. Hanya intinya memang, kita ingin kembali membina jalinan erat persaudaraan melalui silaturahmi yang pernah diajarkan nilai-nilai agungnya oleh Rasulullah Saw., dan para sahabat.

Di salah satu hadis, Rasul pernah bertanya: “Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada salat dan puasa?" "Tentu wahai rasulullah," jawab para sahabat. Beliau menjelaskan, "Engkau damaikan yang bertengkar, menyambungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah …. Barangsiapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan diluaskan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali silaturrahim." (HR. Bukhari Muslim).

Dari sinilah persaudaraan dibina. Dari silaturrahim yang bisa membuka rahmat dan pertolongan Allah Swt. Dengan terhubungnya silaturrahim, maka Insya Allah persaudaraan Islam akan terjalin baik. Namun sebaliknya, rahmat dan kasih sayang Allah akan menjauh, bila tali silaturrahim telah terpenggal. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Tahukan kalian tentang sesuatu yang paling cepat mendatangkan kebaikan atau keburukan? Sesuatu yang paling cepat mendatangkan kebaikan adalah balasan (pahala) orang yang berbuat baik dan menyambungkan tali silaturrahim. Sedangkan yang paling cepat mendatangkan keburukan adalah balasan (siksaan) bagi orang yang berbuat jahat dan memutuskan tali silaturrahim.” (H.R Ibnu Majah). Wallahu a’lam. (Udo Iwan)
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Template Information

Label 6

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Bilik Sastra - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template