Menyulam Kelam (Bagian 3-selesai) - Bilik Sastra
Headlines News :
Home » » Menyulam Kelam (Bagian 3-selesai)

Menyulam Kelam (Bagian 3-selesai)

Written By rumah karya on Selasa, 12 Oktober 2010 | 16.28

Di Negriku, Abai Sangir, terdapat sebuah tambang emas. Letaknya dekat sebuah sungai. Perjalanan menuju ke sana sulit. Ekstra hati-hati. Kerikil liar, menendang-nendang ban motor. Kebanyakan para penduduk mencari uang di sana, termasuk angku Bustami. Sebenarnya beliau memiliki pekerjaan tetap di PT Sawit. Tapi, untuk tambahan, sekaligus mengisi sela-sela waktu, beliau bekerja di sana.

***

Tujuanku yang pertama mengajukan proposal adalah PT Bina Pratama Sekoto Jaya (nama sebuah PT Sawit) atau orang kampungku biasa panggil dengan sebutan Madik. Jalanan kesana bertanah. Berbukit-bukit. Medannya tidaklah sesulit ke tambang. Sesampainya di sana, aku langsung ke kantor pusat, Sentral. Di sana semua pejabat besar PT tinggal. Aku masuk ke dalam kantor yang ramai. Silih berganti orang berdatangan. Mulai dari Pengawas Blok sampai yang paling bawah, pekerja kasar. Ruangan kantornya tidak terlalu mewah. Meja tinggi memanjang. Kursi abu-abu. Dan ruang-ruang pegawai menyesakkan kantor itu. Meski PT tersebut besar, kantornya amat mungil. Saking besarnya PT ini setiap tempat di kepalai oleh seorang pengawas, satu tingkat di atas mandor. Pengawas inilah yang mengawasi dan bertanggung jawab terhadap segala pekerjaan yang ada di setiap Blok. Dia jugalah yang melaporkan ke pusat hasil kerja.
“Ma’af, Pak. Nama saya Irwan. Saya akan melanjutkan studi ke Mesir. Dalam hal ini saya mengalami halangan dana, untuk itu saya ingin mengajukan proposal di sini.” Aku menjelaskan maksudku pada seorang pegawai. Masih muda. Berkacamata. Rambut lurus berbelah dua. Pakain trendy. Baju abu-abu panjang tangan.
“Boleh saya lihat.” Pintanya
“Tentu.” Aku keluarkan satu eksemplar proposal dari dalam ransel. Ia mengamat-amati. Membalik-balik lembarannya.
“Baik, proposal ini saya terima. Silahkan adik hubungi tiga hari lagi. Saya akan ajukan proposal ini kepada pimpinan.”
“Terima kasih, Pak.”


***

“Kapan kamu pergi ke kantor Camat dan Bupati?” Tanya ibu sambil mengangkat jemuran. Diangkasa langit jingga kemerah-merahan. Mega-mega tak ada yang berarak. Ribuan kalong membentuk jalanan hitam di angkasa, kembali ke sarang mereka.
“Insya Allah besok, Bu.”
“Sendiri?”
“Dengan Dedi.”
“Hati-hati! Jangan ngebut. Ingat! Sebentar lagi kamu berangkat. Jaga kesehatan.”
“Iya, Bu.”

Aku memang terkenal pengebut dalam bermotor. Jarak yang ditempuh satu jam. Aku bisa setengahnya. Tentunya dengan perhitungan yang tinggi. Tidak asal kebut. Sore ini kuhabiskan ‘tuk bersantai, menikmati alam lingkungan yang asri. Pohon-pohon nangka, durian, kelapa, rambutan, semua hidup berdampingan di samping rumah. Di atas kursi panjang halaman rumah, pinggir nanas yang rimbun, bawah pohon jengkol yang rindang, aku memandangi langit sore yang bersih dari awan hitam. Sekarang di kampungku musim hujan. Minimal tiga kali dalam seminggu. Kampungku termasuk daerah tinggi. Jadi, tidak perlu khawatir kebanjiran. Daerahnya berbukit-bukit. Juga hijau pepohonan mencegah semua itu.

“Dedi!” Teriakku. Memanggil teman yang akan kuajak untuk menemani mengajukan proposal, yang kebetulan lewat di depan rumah.
“Iya.”
“Besok jadikan jam delapan pagi.”
“Insya Allah.”
“Mau kemana?”
“Beli makanan. Ada saudara yang datang dari kampung, Batu Sangkar.”
“O.”
“Saya duluan, ya.”
“Iya. Silahkan.”

***

“Sebaiknya apa tidak besok saja. Di luar jalanan masih basah dan licin.” Ibu memberi saran. Hujan semalam lebat. Air menggenang di setiap cekungan. Jalanan licin. Pohon-pohon basah. Itu menandakan hujan benar-benar lebat.
“Tidak apa-apa, Bu. Insya Allah Iwan akan baik-baik saja.” Aku tetap bersikeras untuk tetap pergi.
“Besokkan masih bisa!”
“Jika ditunda, nanti waktunya tidak cukup.”
“Kalau begitu ya sudah. Tidak apa-apa. Hati-hati!”
“Terima kasih, Bu.”

Pagi ini, jarang sekali kulihat orang-orang berkendaraan motor lalu lalang. Tampanknya mereka lebih memilih di rumah mengerjakan pekerjaan lain, ketimbang ke kebun atau ke ladang. Kecemasan ibu memang beralasan. Jalanan basah dan licin. Yang paling mengerikan ketika turunan. Terlebih berparit-parit. Sedikit saja bannya kepeleset, bisa guling-guling. Tanjakan tidak menjadi masalah. Ban anti keplater.

“Bukkkk!”
“Aduh!”
Dedi mengaduh. Memegangi kakinya yang terjepit.
“Sorry! Sorry, Ded. Ban depannya slip. Kamu tidak apa-apakan?”
“Tidak. Cuma nyeri sedikit di bagian tulang kering.”
Turunan yang barusan kami turuni licin dan keras. Sisi parit di tengah jalan mengakibatkan ban bergesek, dan menghilangkan keseimbangan. Lebih kurang satu jam, akhirnya kami sampai juga di mulut jalan aspal. Kami berhenti sejenak di sungai yang memotong jalan, membersihkan pakaian. Lega rasanya bisa keluar dari jebakan. Kalau jalanan kering, cukup ditempuh dengan setengah jam saja.

Kami melanjutkan perjalanan. Jalanan beraspal. Lebih santai. Kecepatan standar. Melewati kebun-kebun karet yang rindang. Tidak terasa, kami telah memasuki pelataran kantor Camat Sangir Jujuan, sepi. Luas. Bangunannya masih baru. Dari cat yang menempel di dinding, jelas! Bahwa kantor itu masih baru. Kami masuk ke dalam. Disana kursi kayu panjang untuk tamu menggeletak berhadapan.
“Maaf, Pak. Saya ingin mengajukan proposal. Saya harus berhubungan dengan siapa?.” Aku bertanya pada seseorang yang sedang duduk membaca koran di atas kursi panjang beranda kantor.
“Silahkan Adik temui Tata Usaha di ruangan sebeleh kiri sana.” Menunjuk ke arah samping ia duduk.
“Terima kasih, Pak.”

Aku dan Dedi melangkah ke ruangan yang di maksud. Di sana kulihat duduk seorang perempuan cantik dengan jilbab putih menempel indah di kepalanya. Ia tampak sibuk menulis dan membolak-balik kertas.
“Tok... tok....”
“Assalamu’alaikum.” Kami memberi salam padanya.
“Waalaikum salam. Silahkan masuk.” Ia menjawab dengan ramah sambil terus menulis. Kami duduk di kursi yang menggeletak dua buah di depan mejanya.
“Ada yang bisa saya bantu?”
“Begini, Buk. Saya ingin mengajukan proposal permohonan dana untuk melanjutkan pendidikan.”
“Boleh saya lihat.”
“Tentu.” Aku mengambil satu eksemplar proposal dari dalam tas.
“Silahkan dilihat.”
Ia menerima proposal itu. Membolak-balik halaman demi halaman.
“ke Mesir?” Tanyanya
“Iya.”
“Jauh sekali.”
Aku hanya menjawab denga senyuman.
“Baik. Nanti saya akan berikan ke pak Camat. Sekarang beliau tidak ada di tempat.”
“Terima kasih. Kapan saya bisa ke sini lagi.”
“Tiga hari lagi.”
“Baiklah. Kalau begitu saya permisi dulu.”
“Silahkan.”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam”
Kami keluar kantor dengan lega. Tiga hari lagi harus ke sini, terhitung semenjak sekarang.
“Sekarang kita ke mana, Wan?” Tanya Dedi sambil menurunkan kaki celananya.
“Ke kantor Camat Sangir Padang Aro. Sekaligus Bupati. Kalau sempat nanti ke kantor DPRD dan Depag.”

Kami terus memacu kendaraan. Berpacu dengan deru angin. Membelah hijaunya pepohonan, rumah-rumah. Menyalip kendaraan-kendaraan lain. Melewati bukit-bukit dengan jalanan yang amat sempit. Tikungann tajam. Sedang di bawahnya menganga jurang. Kalau ada mobil yang berlawanan arah, salah satunya mesti mengalah. Sedang di sampingnya, bukit tinggi menjulang. Berbatu. Tegak bak tembok panjang yang melindungi China dari tentara Mongol. Lebih kurang satu jam kami sampai di depan kantor Camat. Seperti halnya di kantor Camat Sangir Jujuan, pak Camat juga tidak di tempat. Eksterior dan interior kantor sepi. Selanjutnya kami ke kantor Bupati yang terletak hanya beberapa meter, masih satu wilayah. Kantor Bupati luar biasa, ramai dengan orang-orang yang keluar masuk. Beragam jenis mereka. Mulai dari yang muda sampai yang tua. Mulai dari yang berdasi sampai yang tanpa alas kaki. Di interior depan, Satpol PP berjaga-jaga. Biasanya Satpam. Mungkin mereka (baca: Satpol PP) sedang Praktek Lapangan (PL). Mereka asyik memperhatikan yang berlalu-lalang. Terkadang tersenyum-senyum melihat tingkah para pengunjung yang beragam pula. Mulai dari yang kalem, pendiam, sampai yang berteriak-teriak, mencaci-maki. Entah apa yang dicaci dan dimaki.
“Maaf, Pak. Kalau mengajukan proposal tempatnya di mana?” Aku bertanya pada salah seorang di antara Satpol PP.
“Di ruang Tata Usaha. Silakan berjalan ke arah sana.” Menujuk kearah sampingnya.
“Nanti Adik akan melihat sendiri letak ruangannya.”
“Terima kasih.”

Tidak sulit untuk mencari ruangan yang dimaksud, karena di atas kusen pintunya tertera tulisan ‘ruang Tata Usaha.’ Aku masuk ke dalam. Dedi menunggu di luar. Sebuah ruangan yang sempit. Tiga meja kerja. Dua wanita muda. Satu laki-laki tua. Kalau melihat tampang dan kursi yang tinggi, laki-laki tua tersebut kepalanya. Di mejanya tertulis sebuah nama berbordir, Drs Hisyam. Aku menyerahkan satu eksemplar proposal pada beliau.

“Mesir!” Berdesis dengan nada seakan tidak percaya. “Adik mau ke Mesir?” Beliau bertanya memperkuat desisannya.
“Insya Allah, Pak.”
“Subhanallah! Belum ada orang Solok Selatan yang sekolah sejauh ini. Dan tidak tanggung, al-Azhar lagi. Universitas masyhur, yang telah banyak menelorkan Ulama. Bapak salut. Terus terang Bapak sangat sedih melihat kondisi negeri kita saat ini. Di mana generasi mudanya sudah sangat jauh dari nilai-nilai Agama. Yang lebih disayangkan adalah para orang tua yang juga ikut tak peduli. Mereka lebih senang memasukkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah umum ketimbang sekolah-sekolah Agama, dengan dalih biar cepat dapat kerjaan.” Beliau curhat padaku. Tatapannya menerawang, seakan-akan menembus langit-langit kantor.
“Iya, Pak. Saya juga sangat prihatin. Dan ini jugalah salah satu yang memotivasi saya untuk kuliah di Universitas al-Azhar. Mendalami ilmu-ilmu agama“ Aku ikut tersugesti perasaan pak Hisyam.
“Insya Allah, Bapak akan selalu mendoakanmu.”
“Amiin. Terima kasih, Pak”
“Baiklah, nanti Bapak akan ajukan proposal ini kepada pak Syafrizal -Bupati-. Beliau tentu sangat senang, ada putra daerah yang melanjutkan studi ke luar negri, al-Azhar-Mesir, untuk mendalami ilmu-ilmu agama“
“Terima kasih, Pak. Kapan saya bisa ke sini lagi?”
“Empat hari lagi.”
“Kalau begitu saya permis dulu.”
“Silahkan.”

Ternyata di negri ini masih ada orang yang seideologi denganku. Memperhatikan nilai-nilai agama yang mulai aus terkikis waktu. Aku kira rasa peduli telah mereka.
Selanjutnya kami ke kantor DPRD. Gedungnya persegi panjang. Di belakang gedung tersebut terdapat sebuah bangunan mewah, bercat kuning, Polda (baca:Polisi Daerah). Sedang di depannya (baca: kantor DPRD) kantor Departemen Agama. Setelah kantor DPRD aku ke kantor Depag mengajukan proposal. Ternyata hasilnya sama, ‘dana untuk pendidikan tidak ada.' Bedanya, kalau di kantor DPRD semua dana telah diserahkan ke Bupati. Sedang di Depag, dana kosong.
Perjalanan yang melelahkan. Demi sebuah asa, semua itu harus aku lakukan. Aku tidak ingin membebankan semuanya pada Ayah dan Ibu. Aku ingin membantu mereka. Minimal meringankan. Aku sangat kasihan pada mereka. Seolah-olah waktu dua puluh empat jam itu seluruhnya waktu bekerja. Walau mereka tak pernah mengeluh dan meminta bantuan untuk membantu.


***
Seminggu kemudian.
“Maaf, Dik. Proposal Adik sudah saya ajukan ke pak Camat. Tapi, belum ada respon. Mungkin beliau sibuk.” Pegawai tersebut menjelaskan. Aku sedikit kecewa, sudah tiga kali aku bolak balik ke sini. Tapi, hasilnya tetap nihil. Pertama, setelah tiga hari yang dijanjikan. Jawabannya sama, belum ada tanggapan. Dan memintaku untuk datang keeesokannya. Tapi, tetap tidak ada. Dan hari ini yang terkhir. Tetap nihil. Aku kecewa sekali.
Sudah tiga kantor Camat yang aku kunjungi. Ini yang terakhir. Pertama, kecamatan Sangir Batang Hari. Hasilnya sama, bedanya di sana langsung ditanggapi. Dan menyatakan terus terang, bahwa tidak ada dana.
“Terus terang kas kosong. Tidak ada dana yang bisa dikeluarkan, sebagai bentuk peduli, Bapak beri saja uang beli bensin. Jangan lihat jumlahnya. Bantuan juga bisa berupa doa bukan? Nanti biar Bapak bantu mengajukan proposal ini kepada tender-tender.”
Kedua, kecamatan Sangir. Dan di sana aku hanya mendapatkan lima puluh ribu rupiah. Alhamdulillah.

Perkataan pak Hisyam ketika menyerahkan dana proposal tiga hari yang lalu, kembali membayang, “Ingat! Apa yang kamu terima ini adalah amanah yang harus kamu laksanakan. Apa yang kamu terima hari ini, nanti akan diminta pertanggung jawabkannya. Penduduk akan bertanya kepadamu, apa yang telah kamu bawa untuk mereka? Allah juga akan bertanya kepadamu, kamu kemanakan amanah yang diberikan dulu. Jangan sampai kamu mengecewakan.” Nasehat itu begitu dahsyat, menggetarkan dadaku. Perkataan beliau membuka mata dan pikiranku. Bahwa apa yang aku terima tidaklah main-main, adalah sesuatu yang nantinya harus dipertanggung jawabkan, baik Dunia maupun Akherat. Kalau dipikir-pikir, zaman sekarang, dua setengah juta bukanlah jumlah yang besar. Tapi, amanahnyalah yang besar. Dan akan dipertanggung jawabkan.

Dengan menggabungkan seluruh dana yang aku peroleh, lumayan meringankan beban ayah dan ibu. Lima puluh ribu dari camat sangir pusat. Dan tiga ratus ribu dari PT Bina Pratama Sekoto Jaya. Walau dibandingkan dengan kebesaran dan kekayaannnya, jumlah itu sangat jauh sekali. Tapi, aku tetap bersyukur. Ditambah lagi patungan sanak saudara. Dari patungan mereka semua terkumpul lebih kurang satu juta lima ratus. Ditotalkan semuanya empat juta rupiah. Untuk biaya pengurusan mulai dari pasport, pakaian, transportasi dan lain-lain, menghabiskan setengahnya, dua juta rupiah. Bantuan-bantuan dari simpatisan lumayan mengurangi beban ayah dan ibu. Sementara proposalku yang di Padang, tidak keluar. Waktu yang sangat sedikit memaksaku untuk tidak dapat mengurusnya.

***

Pagi ini, pelataran rumahku ramai dengan tetangga, sanak saudara, handai taulan dan yang hanya sengaja ingin melihat keberangkatanku. Pagi ini, adalah pagi terakhirku bertemu dengan mereka, karena pagi ini juga aku akan berangkat ke Padang. Aku sedih, harus berpisah dari mereka.
“Berpandai-pandailah di sana. Kami semua menunggumu.”
Begitulah mereka berpesan. Seolah-olah mereka tak ingin dikecewakan. Berat memang amanah ini. Tapi, aku harus menjalaninya. Setelah berpamitan kepada mereka semua, aku beserta rombongan berangkat meninggalkan Abai Sangir.
“Cinta terhadap kampung, pergi menjauhinya. Jangan bertelor di dalamnya.”
Sepenggal kata tersebut mempunyai makna yang dalam. Sepenggalan kata yang diucapkan oleh mertua Ustazdku beberapa bulan yang lalu. Pergi tentu tidak sembarang pergi. Tapi, pergi yang mempunyai arti. Salah satu arti tersebut dengan menuntut ilmu dan kembali membangun negeri.

***

“Mana busnya?” Tanya ibuku dengan cemas.
“Katanya jam delapan.” Jawabku dengan nada yang tak kalah gusar. Sudah satu jam setengah kami menunggu. Bus tersebut belum juga nongol-nongol. Aku jadi sedikit panik. Padahal tack oof jam 11.00 Wib, sekarang sudah menunjukkan jam 09.00. Waktu yang dibutuhkan ke Bandara satu jam kurang, belum lagi kalau-kalau macet. Aku mondar-mandir sendiri kayak orang bingung. Keringat dingin mengucur dari pori-pori. Semua keluargaku tegang. Terlebih ibu. Ketegangan itu sejenak kemudian sirna. Dari jauh kami melihat bus mendekat.
“Itu busnya.” Teriakku girang. Semua saudaraku berdiri, bersiap-siap.
“Indaruang, Da”
“Cesss…!”
Dadaku berdesir. Ada sesuatu yang merembes ke dalam. Membuat udara di dalamnya panas, serasa akan meledak karena gesekan. Keringat semakin deras saja mengucur. Ternyata salah bus, bukan bus ke Indarung yang kami tunggu.
“Masak kamu lupa bentuk busnya, Wan.” Ujar pamanku sedikit kecewa.
Rasa panik membuatku lupa bentuk bus yang dipesan. Berselang beberapa menit kemudian datang satu bus lagi. Melihat background depannya, “NEVITA” aku yakin inilah bus yang kami tunggu. Ternyata dugaanku benar.
“Waduh, saya minta maaf sekali.” Kata sopir tersebut. “Tadi bannya bocor. Terpaksa saya harus tambal dulu. Kemarin ban serepnya pecah, belum sempat membeli yang baru. Saya sudah dari jam tujuh berangkat. Satu jam sebelum perjanjian. Agar tidak telat. Tapi, ya mungkin sudah takdir, di tengah jalan banya bocor.”
“Ya sudah, Pak. Tidak apa-apa. Kira-kira kita bisa sampai sebelum jam setengah sebelas?” Kulihat jam handphone sudah menunjukkan pukul 09.30 Wib.
“Insya Allah, bisa.”
“Baiklah kalau begitu. Ayo kita berangkat.”
Ada sedikit kelegaan. Walaupun rasa cemas masih menari. Mobil yang semula santai, perlahan mulai menambah kecepatan. Mobil-mobil yang berlawanan arah menjauh dengan cepat. Alhamdulillah, jalanan tidak macet. Mobil bisa melaju dengan tenang tanpa hambatan. Mobil mulai memasuki kawasan yang agak sepi, menjauh dari jantung kota. Di tempat sepi inilah bandara Katapiang Padang berdiri. Semula bandara ini berada di Tabiang (baca: Tebing), sebuah daerah yang berada tepat di jantung kota Padang. Semenajak berubah status menjadi bandara Internasional, akhirnya dipindahkan ke tempat yang lebih luas, yaitu di perbatasan Lubuk Buayo (baca: Lubuk Buaya) dengan Pariaman.
Ternyata apa yang dikatakan sopir tidak salah. Kami sampai tepat jam 10.15 Wib. Disana teman-temanku sudah berkumpul. Lengkap dengan saudara-saudara mereka. Mereka sudah bersiap-siap masuk ruang lobi.
“Jaga dirimu di sana ya, Nak. Jangan lupa kabar-kabari Ayah dan Ibu di kampung. Belajarlah yang rajin. Berpandai-pandailah di sana. ‘Pisang itu belum tentu berbuah dua kali.’ Gunakan kesempatanmu dengan baik.”
Aku haru, tak kuasa menahan buliran yang menggumpal di kelopak mata. Wajahku seketika memerah. Hari ini perpisahan terjadi. Aku akan pergi meninggalkan mereka semua. Sedih. Senang, mengharu biru, jadi lautan rindu. Yang harus ditumpahkan suatu waktu.
“Insya Allah, Ayah-Ibu. Iwan janji akan menjalankan amanah ini sebaik-baiknya. Mohon doakan Iwan selalu.”
Kupeluk mereka satu-persatu. Menumpahkan beban yang bergejolak dalam dada. Beban yang sangat berat sekali.
Mandala Air Lines resmi menjadi pemisah antara aku dan keluarga. Ia membawaku terbang membumbung ke angkasa. Meninggalkan segalanya. Menuju sebuah pulau yang berlimpah harta, yang tak ternilai dengan angka.

“SELAMAT TINGGAL SEMUANYA, DOA DARI SEMUA, SELALU KUNANTI.”
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Template Information

Label 6

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Bilik Sastra - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template