PRINSIP DAN BAHASA JURNALISTIK - Bilik Sastra
Headlines News :
Home » » PRINSIP DAN BAHASA JURNALISTIK

PRINSIP DAN BAHASA JURNALISTIK

Written By rumah karya on Senin, 25 Oktober 2010 | 13.44

Bahasa jurnalistik atau biasa disebut bahasa pers, merupakan salah satu ragam bahasa kreatif Indonesia di samping ragam bahasa ilmiah, ragam bahasa bisnis, ragam bahasa filosofik, dan ragam bahasa sastra. Bahasa jurnalistik memiliki ciri-ciri dan kaidah sendiri yang membedakannya dengan ragam bahasa yang lain.
A. PENGANTAR
Bahasa jurnalistik atau biasa disebut bahasa pers, merupakan salah satu ragam bahasa kreatif Indonesia di samping ragam bahasa ilmiah, ragam bahasa bisnis, ragam bahasa filosofik, dan ragam bahasa sastra. Bahasa jurnalistik memiliki ciri-ciri dan kaidah sendiri yang membedakannya dengan ragam bahasa yang lain.
Beberapa ciri yang harus dimiliki bahasa jurnalistik di antaranya adalah:
1. Singkat, artinya bahasa jurnalistik harus menghindari penjelasan yang panjang dan bertele-tele;
2. Padat, artinya bahasa jurnalistik yang singkat itu sudah mampu menyampaikan informasi yang lengkap. Semua yang diperlukan pembaca sudah tertampung di dalamnya. Menerapkan prinsip 5W + 1H, membuang kata-kata mubazir dan menerapkan ekonomi kata;
3. Sederhana, artinya bahasa pers sedapat-dapatnya memilih kalimat tunggal dan sederhana, bukan kalimat majemuk yang panjang, rumit, dan kompleks. Kalimat yang efektif, praktis, sederhana pemakaian kalimatnya, tidak berlebihan pengungkapannya (bombastis);
4. Lugas, artinya bahasa jurnalistik mampu menyampaikan pengertian atau makna informasi secara langsung dengan menghindari bahasa yang berbunga-bunga;
5. Menarik, artinya dengan menggunakan pilihan kata yang masih hidup, tumbuh, dan berkembang;
6. Jelas, artinya informasi yang disampaikan jurnalis dapat dipahami oleh khalayak umum (pembaca) dengan mudah. Struktur kalimatnya tidak menimbulkan penyimpangan/pengertian makna yang berbeda, menghindari ungkapan bersayap atau bermakna ganda (ambigu). Oleh karena itu, seyogyanya bahasa jurnalistik menggunakan kata-kata yang bermakna denotatif.
Selain itu, Bahasa jurnalistik sewajarnya didasarkan atas kesadaran terbatasnya ruang dan waktu. Meski pers nasional yang menggunakan bahasa Indonesia sudah cukup lama usianya, tapi masih terasa perlu sekarang kita menuju suatu bahasa jurnalistik Indonesia yang lebih efisien.

B. MENULIS HEMAT
Asas hemat (efesien) ini penting buat setiap reporter, dan lebih penting lagi buat editor. Penghematan ini bisa dilakukan di dua lapisan: pertama, unsur kata, dan yang kedua adalah unsur kalimat.

I. PENGHEMATAN UNSUR KATA

Beberapa kata Indonesia sebenarnya bisa dihemat tanpa mengorbankan tata bahasa dan jelasnya arti. Misalnya:

agar supaya agar, supaya
akan tetapi tapi
Apabila bila
Sehingga hingga
meskipun meski
Walaupun walau
Tidak Tak*
*kecuali diujung kalimat atau berdiri sendiri

Kemudian kata daripada atau dari pada juga sering bisa disingkat jadi dari, misalnya: "Keadaan lebih baik dari pada zaman sebelum perang", menjadi "Keadaan lebih baik dari sebelum perang". Tapi mungkin masih janggal mengatakan: "Dari hidup berputih mata, lebih baik mati berputih tulang".

Termasuk juga ejaan yang salah kaprah, justru bisa diperbaiki dengan menghemat huruf, misalnya:

Sjah Sah
khawatir Kuatir
Akhli Ahli
tammat Tamat
progressive Progresif
affektif Efektif

Selain itu beberapa kata juga mempunyai sinonim yang lebih pendek dan sangat efisien jika kita pergunakan, misalnya:

kemudian Lalu
Makin Kian
terkejut Kaget
Sangat Amat
demikian Begitu
sekarang Kini

Catatan: Dua kata yang bersamaan arti belum tentu bersamaan efek, sebab bahasa bukan hanya soal perasaan. Dalam soal memilih sinonim yang telah pendek memang perlu ada kelonggaran, dengan mempertimbangkan tata bahasa.

II. PENGHEMATAN UNSUR KALIMAT
Salah satu cara yang lebih efektif dari penghematan kata ialah penghematan melalui struktur kalimat. Banyak contoh penyusunan kalimat dengan pemborosan kata. Diantaranya sebagai berikut:
a. Kebiasaan memakai kata di awal kalimat yang sebenarnya tidak perlu, misalnya:
• "Adalah merupakan kenyataan, bahwa percaturan politik internasional berubah-ubah setiap zaman".
(Bisa disingkat: "Merupakan kenyataan, bahwa...").
• "Apa yang dinyatakan Wijoyo Nitisastro sudah jelas".
(Bisa disingkat:"Yang dinyatakan Wijoyo Nitisastro…").
b. Kebiasaan menggunakan kata apakah atau apa (mungkin pengaruh bahasa daerah) yang sebenarnya bisa ditiadakan, misalnya:
• "Apakah Indonesia akan terus bergantung pada bantuan luar negeri?"
(Bisa disingkat:"Akan terus tergantungkah Indonesia…").
• "Baik kita lihat, apa(kah) dia ada di rumah atau tidak".
(Bisa disingkat: "Baik kita lihat, dia ada di rumah atau tidak").

c. Kebiasaan memakai kata dari atau daripada sebagai terjemahan of (Inggris) dalam hubungan milik yang sebenarnya bisa ditiadakan, misalnya:
• "Dalam hal ini pengertian dari Pemerintah diperlukan".
(Bisa disingkat: "Dalam hal ini pengertian Pemerintah diperlukan".
• "Sintaksis adalah bagian daripada tatabahasa".
(Bisa disingkat: "Sintaksis adalah bagian tatabahasa").
d. Kebiasaan memakai kata untuk sebagai terjemahan to (Inggris) yang sebenarnya bisa ditiadakan, misalnya:
• "Uni Soviet cenderung untuk mengakui hak-hak India.
(Bisa disingkat: "Uni Soviet cenderung mengakui...").
• "Pendirian semacam itu mudah untuk dipahami".
(Bisa disingkat: "Pendirian semacam itu mudah dipahami…").
• "GINSI dan Pemerintah bersetuju untuk memperbaharui prosedur barang-barang modal".
(Bisa disingkat: "GINSI dan Pemerintah bersetuju memperbaruhi…").

Catatan: Dalam kalimat: "Mereka setuju untuk tidak setuju", kata untuk demi kejelasan dipertahankan.

e. Pemakaian kata adalah sebagai terjemahan is atau are (Inggris) tak selamanya perlu, misalnya:
• "Kera adalah binatang pemamah biak". (Bisa disingkat: "Kera binatang pemamah biak").

Catatan: Dalam penyusunan struktur kalimat lama, hendaknya kata adalah ditiadakan dan diganti dengan kata itu, misalnya dalam kalimat: "Pikir itu pelita hati". Kita bisa memakainya, meski lebih baik menghindari, misalnya kalau kita harus menerjemahkan "Man is a better driver than woman", bisa mengacaukan bila disalin "Pria itu pengemudi yang lebih baik dari wanita."

f. Pembubuhan akan, telah, sedang sebagai penunjuk waktu sebenarnya bisa dihapuskan, kalau ada keterangan waktu, misalnya:
• "Presiden besok akan meninjau pabrik ban Good Year".
(Bisa disingkat: "Presiden besok meninjau pabrik…").
• "Tadi telah dikatakan…".
(Bisa disingkat: "Tadi dikatakan…").
• "Kini clay sedang sibuk mempersiapkan diri".
(Bisa disingkat: "Kini clay mempersiapkan diri").

g. Pembubuhan bahwa seringkali bisa ditiadakan, misalnya:
• "Gubernur Ali Sadikin membantah desas-desus yang mengatakan bahwa ia akan diganti".
(Bisa disingkat: "Gubernur Ali Sadikin membantah desas-desus yang mengatakan ia akan diganti".
• "Tidak diragukan lagi bahwa ialah orang yang tepat".
(Bisa disingkat: Tak diragukan lagi, ialah orang yang tepat".)

Catatan: Sebagai ganti bahwa ditaruhkan koma, atau pembuka (:), bila perlu.

h. Kata Yang, sebagai penghubung kata benda dengan kata sifat, bisa juga bisa ditiadakan dalam konteks kalimat tertentu. Misalnya:
• "Indonesia harus menjadi tetangga yang baik dari Australia".
(Bisa disingkat: "Indonesia harus menjadi tetangga baik Australia").
• "Kami adalah pewaris yang sah dari kebudayaan dunia.
(Bisa disingkat: "Kami pewaris sah kebudayaan dunia".)

i. Pembentukan kata benda (ke + … + an atau pe + … + an) yang berasal dari kata kerja atau kata sifat, meski tak selamanya, akan menambah beban kalimat dengan kata yang sebenarnya tak perlu. Misalnya:
• "Tanggul kali Citanduy kemarin mengalami kebobolan".
(Bisa dirumuskan: "Tanggul kali Citanduy kemarin bobol").
• "PN Sandang menderita kerugiaan Rp 3 juta".
(Bisa disingkat: "PN sandang rugi Rp 3 juta".)
• "Ia telah tiga kali melakukan penipuan terhadap saya".
(Bisa disingkat: "Ia telah tiga kali menipu saya").
• "Ditandaskannya sekali lagi bahwa DPP kini sedang memikirkan langkah-langkah untuk mengadakan peremajaan dalam tubuh partai.
(Bisa disingkat: "Ditandaskannya sekali lagi, DPP sedang memikirkan langkah-langkah meremajakan tubuh partai").

j. Penggunaan dimana, kalau tak hati-hati, juga bisa tidak tepat dan boros. Dimana sebagai kata ganti penanya yang berfungsi sebagai kata ganti relatif muncul dalam bahasa Indonesia akibat pengaruh bahasa barat.
Dr. C. A. Mees, dalam "Tatabahasa Indonesia" (G. Kolf & Co., Bandung, 1953 hal. 290-294) menolak pemakaian dimana. Ia juga menolak pemakaian pada siapa, dengan siapa, untuk diganti dengan susunan kalimat Indonesia yang "tidak meniru jalan bahasa belanda", dengan mempergunakan kata tempat, kawan atau teman. Misalnya: "orang tempat dia berutang" (bukan: pada siapa dia berutang); "orang kawannya berjanji tadi" (bukan: orang dengan siapa dia berjanji tadi). Bagaimana kemungkinannya untuk bahasa jurnalistik?
Sebagai misal: "Rumah dimana saya diam", yang berasal dari "The house where I live in", dalam bahasa Indonesia semula sebenarnya cukup berbunyi: "Rumah yang saya diami". Misal lainnya: "Negeri dimana ia dibesarkan", dalam bahasa Indonesia semula berbunyi: "Negeri tempat ia dibesarkan".
Dari kedua misal itu jelas terasa bahasa Indonesia semula lebih luwes, tidak kaku. Meski begitu tak berarti kita harus mencampakkan kata dimana sama sekali dari pembentukan kalimat bahasa Indonesia.

k. Dalam beberapa kasus, kata yang berfungsi sebagai penyambung satu kalimat dengan kalimat lain sesudahnya juga bisa ditiadakan, asal hubungan antara kedua kalimat itu secara implisit cukup jelas (logis) untuk menjamin kontinyuitas. Misalnya:
• "Bukan kebetulan jika Gubernur menganggap proyek itu bermanfaat bagi daerahnya. Sebab 5 tahun mendatang, proyek itu bisa menampung 2.500 tenaga kerja setengah terdidik". (Kata sebab diawal kalimat kedua bisa ditiadakan; hubungan kausal antara kedua kalimat secara implisit sudah jelas).
• "Pelatih PSSI Witarsa mengakui kekurangan-kekurangan di bidang logistik anak-anak asuhnya. Kemudian ia juga menguraikan perlunya perbaikan gizi pemain". (Kata Kemudian diawal kalimat kedua bisa ditiadakan; hubungan kronologis antara kedua kalimat secara implisit cukup jelas).

C. MENULIS JELAS
Asas jelas (efesien) juga sangat penting buat setiap reporter, dan lebih penting lagi buat editor. Menulis secara jelas membutuhkan dua prasyarat: Pertama, penulis harus memahami betul soal yang mau ditulisnya, bukan pura-pura paham atau belum yakin benar akan pengetahuannya sendiri.
Maksudnya, Disamping itu penulis juga harus memahami betul soal-soal yang mau ditulisnya, menguasai bahan penulisan dengan sistematis. Ada orang yang sebetulnya kurang bahan (baik hasil pengamatan, wawancara, hasil bacaan, buah pemikiran) hingga tulisannya cuma mengambang. Ada juga orang yang terlalu banyak bahan, hingga tak bisa membatasi dirinya alias menulis terlalu panjang.
Dalam penulisan jurnalistik, tulisan kedua macam orang itu tak bisa dipakai. Sebab penulisan jurnalistrik harus disertai informasi faktual dan kejelian dalam mengamati, berwawancara dan membaca sumber yang akurat. Juga harus dituangkan dalam waktu dan ruangan yang tersedia.
Dan yang kedua, penulis harus punya kesadaran tentang pembaca tulisannya. Maksudnya, sebelum kita menulis, kita harus punya bayangan (sedikit-sedikitnya perkiraan) tentang pembaca kita: sampai berapa tinggi tingkat informasinya? Bisakah tulian saya ini mereka pahami? Satu hal yang penting harus diingat: tulisan kita tak hanya akan dibaca seorang atau sekelompok pembaca tertentu saja, melainkan oleh suatu publik yang cukup bervariasi dalam tingkat informasi.
Pegangan penting buat penulis jurnalistik yang jelas ialah: buatlah tulisan yang tidak membingungkan orang yang belum tahu, tapi tak membosankan orang yang sudah tahu. Ini bisa dicapai dengan praktek yang sungguh-sungguh dan terus-menerus.
Sebuah tulisan yang jelas juga harus memperhitungkan syarat-syarat teknis komposisi, seperti:
• Tanda baca yang tertib.
• Ejaan yang tidak terlampau menyimpang dari yang lazim dipergunakan atau ejaan standar.
• Pembagian tulisan secara sistematis dalam alinea-alinea.
Dalam kaitannya menuju kejelasan bahasa, ada dua lapisan yang perlu mendapat perhatian, yaitu unsur kata dan unsur kalimat.

C. I. KEJELASAN UNSUR KATA
Untuk mencapai target kejelasan unsur kata, seorang penulis hendaklah memperhatikan beberapa pont di bawah ini:
1 Berhemat dengan kata-kata asing. Dewasa ini begitu derasnya arus istilah-istilah asing dalam pers kita. Misalnya: income per capita, Meet the Press, steam-bath, midnight show, project officer, two china policy, floating mass, program-oriented, floor-price, City hall, upgrading, the best photo of the year, reshuffle, approach, single, seeded dan lain-lain. Kata-kata itu sebenarnya bisa diterjemahkan, tapi dibiarkan begitu saja. Sementara diketahui bahwa tingkat pelajaran bahasa Inggris sedang merosot, maka bisa diperhitungkan sebentar lagi pembaca Koran Indonesia akan terasing dari informasi, mengingat timbulnya jarak antara bahasa yang kian melebar. Apalagi jika mengingat pemahaman rakyat yang sangat minim dalam bahasa Inggris.

Oleh karena itu, sebelum terlambat maka usaha menerjemahkan kata-kata asing yang relatif mudah harus segera dimulai. Meski untuk sementara harus diakui: perkembangan bahasa tak berdiri sendiri, melainkan ditopang perkembangan sektor kebudayaan lain. Maka sulitlah kita mencari terjemahan lunar module feasibility study, after-shave lotion, drive –in, pant-suit, technical know-how, backhnad drive, smash, slow motion, enterpeneur, boom, longplay, crash program, buffet dinner, double-breast, dll., karena pengertian-pengertian itu tak berasal dari perbendaharaan kultural kita. Walau begitu, usaha mencari terjemahan Indonesia yang tepat dan enak tetap perlu, misalnya bell-bottom dengan "cutbrai."

2 Menghindari sejauh mungkin akronim. Setiap bahasa mempunyai akronim, tapi agaknya sejak 15 tahun terakhir, pers berbahasa Indonesia semakin gemar menggunakan akronim, sampai pada hal-hal yang kurang perlu.
Memang akronim mempunyai manfaat untuk menyingkat ucapan dan penulisan dengan cara yang mudah diingat. Dalam bahasa Indonesia yang kata-katanya jarang bersukukata tunggal dan yang rata-rata dituliskan dengan banyak huruf, kecendrungan untuk membentuk akronim memang lumrah. Semisal "Hankam", "Bappenas", "Daswati" dan "Humas". Memang lebih ringkas dari "Pertahanan & Keamanan", "Badan Perencanaan Pembangunan Nasional", "Daerah Swantantra Tingkat" dan "Hubungan Masyarakat".
Tapi kiranya akan teramat membingungkan kalau kita seenaknya saja membuat akronim sendiri dan terlalu sering. Disamping itu, kita perlu mengingat bahwa membuat akronim tetap dianggap perlu untuk alasan praktis dalam suatu dinas (misalnya yang dilakukan kalangan ketentaraan), ada juga yang membuat akronim untuk bergurau, mengejek dan mencoba lucu (misalnya dikalangan remaja sehari-hari: "ortu" untuk "orangtua"; atau di pojok Koran: "keruk nasi" untuk "kerukunan nasional"), bahkan ada pula yang membuat akronim untuk menciptakan efek propaganda dalam permusuhan politik (misalnya "Manikebu" untuk "Manifes Kebudayaan", "Nekolim" untuk "neo-kolonialisme", "Cinkom" untuk "China Komunis","ASU" untuk "Ai Surahman".)
Bahasa jurnalistik secara objektif, seharusnya terhindar dari akronim jenis terakhir itu. Juga untuk akronim bahasa pojok sebaiknya dihindarkan dari bahasa pemberitaan, misalnya "Djagung" untuk "Jaksa Agung", "Gepeng" untuk "Gerakan Penghematan", "sas-sus" untuk "desas-desus".
Contoh diatas tak bermaksud memberikan batas yang tegas akronim mana saja yang bisa dipakai dalam bahasa pemberitaan atau tulisan dan mana saja yang tidak. Contoh tersebut hanya ingin mengingatkan bahwa akronim pada akhirnya bisa mengaburkan pengertian kata-kata yang diakronimkan, hingga baik yang menggunakan ataupun yang membaca dan yang mendengarnya bisa terlupakan isi semula suatu akronim. Misalnya akronim "Gepeng" jika terus-menerus dipakai bisa menyebabkan kita lupa makna "Gerakan" dan "Penghematan" yang terkandung dalam maksud awalnya, begitu pula akronim "ASU". Sikap analistis dan kritis kita juga bisa hilang terhadap kata berbentuk akronim itu, dan itulah sebabnya akronim sering dihubungkan dengan bahasa pemerintahan yang populer dan krusial dalam bahasa Indonesia.

C. II. KEJELASAN UNSUR KALIMAT

Tapi seperti halnya dalam asas penghematan, asas kejelasan juga lebih efektif jika dilakukan dalam struktur kalimat. Satu-satunya cara untuk itu ialah menghindari kalimat-kalimat majemuk yang paling panjang anak kalimatnya; terlebih lagi, jika kalimat majemuk itu kemudian bercucu kalimat.
Pada dasarnya setiap kalimat yang amat panjang (lebih dari 15-20 kata) bisa mengaburkan hal yang lebih pokok, apalagi dalam bahasa jurnalistik. Itulah sebabnya penulisan lead (awal) berita sebaiknya dibatasi hingga 13 kata. Bila lebih panjang dari itu, pembaca bisa kehilangan jejak persoalan. Apalagi bila dalam satu kalimat terlalu banyak data yang dijejalkan.

Contoh:
"Harian kami", 4 Desember 1971:

"Sehubungan dengan berita "Harian Kami" tanggal 25 November 1971 hari kamis berjudul: "Tanah Kompleks IAIN Ciputat dijadikan Objek Manipulasi" (berdasarkan keterang pers dari Hamdi Ajusa, Ketua Dewan Mahasiswa IAIN Djakarta) maka pada tanggal 28 Noveember jbl. di Kampus IAIN tersebut telah diadakan pertemuan antara pihak Staf JPMII (Jajasan Pembangunan Madrasah Islam & Ihsan-Perwakilan Ciputat) dengan Hamdi Ajusa mewakili DM IAIN dengan maksud untuk mengadakan "clearing" terhadap berita itu".

Lead berita diatas terdiri lebih dari 60 kata, sehingga pembaca perlu dua kali membacanya untuk memahami apa yang dimaksud sang wartawan. Kalau hanya membaca sekali saja, tentunya jejak perkara yang disajikan tidak fokus. Ini artinya suatu komunikasi cepat tak tercapai. Lead berita diatas lebih ruwet lagi, karena bukan hanya pembaca yang kehilangan jejak dengan dipergunakannya kalimat-kalimat panjang, tapi juga si penulis sendiri.

Contoh lainnya:
Pedoman, 4 Desember 1971:
"Selama tour tersebut sambutan masyarakat setempat dimana mereka mengadakan pertunjukan mendapat sambutan hangat."

Perhatikan: Penulis kehilangan subjek semula kalimatnya sendiri, yakni sambutan masyarakat setempat. Akibatnya, kalimat itu tak berarti, "yang mendapat sambutan hangat ialah sambutan masyarakat setempat."

D. TUJUH ELEMEN TULISAN YANG BAIK

Apapun subyeknya, setiap karya jurnalistik yang bagus memiliki setidaknya tujuh unsur, yaitu:

1. Informasi
Untuk bisa menulis prosa yang efektif, penulis pertama-tama harus mengumpulkan kepingan informasi serta detail, spesifik dan akurat dan bukan bergantung pada kecanggihan retorika atau pernik-pernik bahasa. Karena informasi merupakan batu bata penyusun sebuah tulisan yang efektif. ''Prosa adalah arsitektur, bukan dekorasi interior,'' kata Ernest Hemingway.

2. Signifikansi
Tulisan yang baik memiliki dampak pada pembaca. Ia memberikan informasi penting yang ingin diketahui oleh pembaca. Serta meletakkan informasi itu dalam sebuah perspektif yang berdimensi, yaitu mengisahkan apa yang telah, sedang dan akan terjadi.

3. Fokus
Tulisan yang sukses biasanya justru pendek, terbatasi secara tegas dan sangat fokus. ''Less is more,'' lagi-lagi kata Hemingway. Umumnya tulisan yang baik hanya mengatakan satu hal. Mereka mengisahkan seorang serdadu atau seorang korban, bukan pertempuran.

4. Konteks
Tulisan yang efektif mampu meletakkan informasi pada perspektif yang tepat sehingga pembaca tahu dari mana kisah berawal dan kemana mengalir, seberapa jauh dampaknya dan seberapa tipikal.

5. Wajah
Jurnalisme menyajikan gagasan dan peristiwa -trend sosial, penemuan ilmiah, opini hukum, perkembangan ekonomi, krisis internasional, tragedi kemanusiaan- dengan memperkenalkan pembaca kepada orang-orang yang menciptakan gagasan dan menggerakkan peristiwa. Atau dengan menghadirkan orang-orang yang terpengaruh oleh gagasan dan peristiwa itu.
Tulisan akan efektif jika penulisnya mampu mengambil jarak dan membiarkan pembacanya bertemu, berkenalan serta mendengar sendiri gagasan atau informasi dan perasaan dari manusia-manusia di dalamnya.

6. Bentuk
Tulisan yang efektif memiliki sebuah bentuk yang mengandung dan --sekaligus -- mengungkapkan cerita. Umumnya berbentuk narasi. Sebuah narasi bakal sukses jika memiliki semua informasi yang dibutuhkan pembacanya dan ceritanya bisa diungkapkan dalam pola kronologis aksi-reaksi. Penulis harus kreatif untuk menyusun sebuah bentuk yang memungkinkan pembacanya memiliki kesan komplit dan memuaskan perasaan, bahwa segala yang ada dalam tulisan mengalir ke arah konklusi yang tak terhindarkan.

7. Suara
Tulisan akan mudah diingat jika mampu menciptakan ilusi bahwa seorang penulis tengah bertutur kepada pembacanya. Majalah atau koran yang baik tak ubahnya seperti pendongeng yang memukau. Dan penulis yang baik mampu menghadirkan warna suara yang konsisten ke seluruh cerita, serta menganekaragamkan volume dan ritme untuk memberi tekanan pada makna.

Secara ringkas, tulisan yang baik mengandung informasi menarik dan berjiwa. Menarik karena penting, terfokus dan berdimensi. Serta berjiwa, karena berwajah, berbentuk dan bersuara.

E. TUJUH KEGAGALAN TULISAN

1. Gagal menekankan segala yang penting –karena penulis sendiri kurang yakin akan informasi yang ia tulis.
2. Gagal menghadirkan fakta-fakta yang mendukung.
3. Gagal memerangi kejemuan pembaca. Terlalu banyak klise, hal-hal yang umum. Tak ada informasi spesifik yang dibutuhkan pembaca.
4. Gagal mengorganisasikan tulisan secara baik --organisasi kalimat maupun keseluruhan cerita-.
5. Gagal mempraktekkan tata bahasa secara baik; salah membubuhkan tanda baca dan salah menuliskan ejaan.
6. Gagal menulis secara balance, sebuah dosa yang biasanya merupakan akibat ketidakpercayaan kepada pembaca, atau keengganan untuk membiarkan fakta-fakta yang ada mengalirkan cerita sendiri tanpa restu dari persepsi penulis tentang arah cerita yang benar. Dengan kata lain: menggurui pembaca, elitis.
7. Semua kegagalan itu bermuara pada kegagalan untuk mengkaitkan diri dengan pembaca.

PENUTUP

Jurnalistik adalah kegiatan menyiapkan, mengedit, menulis dan melaporkan suatu realitas untuk surat kabar, majalah atau media lainnya. Ia menjadi kekuatan tersendiri dalam sistem kemasyarakatan (baik sistem sosial maupun sistem politik).
Kejelian mengidentifikasikan realitas yang penting dan menarik untuk diberitakan atau kemahiran mengumpulkan fakta yang lengkap dan akurat, sama sekali tidak berarti apa-apa jika tidak dapat disampaikan kepada pihak lain dalam bahasa yang mudah dimengerti.
Untuk menjadi informasi, setiap materi informasi harus diwujudkan melalui penggunaan bahasa. Maka, perlu direnungkan untuk bisa membahasakan informasi dan realitas menjadi benar-benar sebagai bahasa jurnalistik. Bahasa di sini bisa menjadi alat komunikasi yang mengemban fungsi sosial. Dalam fungsinya ini substansi dari materi komunikasi memiliki energi yang memungkinkan masuk ke dalam alam sosial. Selain itu, bahasa juga mengemban fungsi etis. Yaitu, penggunaannya berpretensi menjaga ideologi dalam hubungan sosial. Ideologi ("kerukunan", "stabilitas", "kesopanan", "reformasi") misalnya, bisa merupakan nilai otentik yang dianut oleh komunikator, tetapi bisa juga hasil rekayasa struktural atas diri komunikator tersebut. Kedua hal ini akan membawa implikasi yang berbeda. Kemudian bahasa juga menjadi fungsi estetis, di mana penggunaannya membawa kesenangan psikologis. Dari fungsi-fungsi bahasa semacam ini, jika digunakan dalam jurnalisme, juga akan membawa orientasi yang berbeda.

Ada lagi yang mesti dimengerti dalam menuliskan bahasa jurnalistik, yaitu, gaya bahasa. Ini memang sangat diagungkan dalam dunia sastra. Semakin indah dan orisinal, semakin tinggi nilainya. Di lingkungan pers dikenal juga gaya bahasa jurnalistik. Menampilkan fakta sosial secara langsung dan jelas.
Gaya bahasa jurnalistik adalah untuk tujuan efisiensi dan efektifitas komunikasi. Dengan efisien dan efektif dimaksudkan agar discourse fakta sosial dapat ditangkap dan dimengerti dengan cepat dan mudah. Secara metodologis biasa disebut sebagai tingginya tingkat readability (keterbacaan) dari suatu wacana.
Selain efisien dan efektif, wacana dalam komunikasi juga sering dituntut untuk "enak" dibaca, didengar dan ditonton. "Enak-tidaknya" suatu wacana, tidak hanya tergantung kepada pilihan diksi, tetapi juga kepada struktur wacana. Inilah perbedaan karya sastra dengan karya jurnalistik, yaitu terletak pada tendensi dalam komunikasinya. Jika "enak" dalam sastra dimaksudkan untuk mencapai efek estetis pada dunia psikologis pembacanya, maka dalam jurnalisme sama sekali bukan bertujuan estetis. Karena, jurnalisme bertujuan untuk membawa pembacanya ke alam sosial.
Karenanya, suatu reportase jurnalistik yang efeknya berhenti di alam psikologis, perlu dicurigai sebagai sekedar menjual kata-kata dengan label jurnalisme. Reportase semacam ini dapat dikenal dari materi yang disampaikannya, yaitu sejauhmana relevansinya dengan fakta sosial, lebih jauh lagi dengan konteks alam sosial khalayak ramai.
Jika gaya bahasa dijual sebagai komoditi dalam struktur yang menekan, bahkan dengan mengabaikan fakta sosial, ini lebih parah keadaannya daripada penggunaan bahasa dalam kondisi submisif dan berkelit tadi. Sebab dengan menjadikan gaya bahasa sebagai komoditi, dengan sikap submisif dalam struktur sosial akan sekaligus mendidik khalayak untuk menjadi eskapistis, atau istilah kerennya "cari selamat sendiri".


Disarikan dan direvisi dari tulisan-tulisan Jurnalistik:

1. Gunawan Muhammad, Bahasa Jurnalistik Indonesia
2. Farid Gaban, Seperti Tarian Burung Camar
3. Suroso, Bahasa Jurnalistik sebagai Materi Pengajaran BIPA Tingkat Lanjut, Universitas Negeri Yogyakarta.
4. Em Iqbal, S. Sos2, Bahasa Jurnalistik, Harus Bagaimana,
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Template Information

Label 6

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Bilik Sastra - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template