DILEMA - Bilik Sastra
Headlines News :
Home » » DILEMA

DILEMA

Written By rumah karya on Rabu, 27 Oktober 2010 | 00.16

Dia duduk mematung. Kursi bambu lusuh seakan tak kuat menahan badan kecilnya. Kursi itu terlihat tua. Mungkin karena beban. Langit hatinya mendung, seperti halnya langit saat ini. Beberapa hari ini ia sering termenung. Di luar hujan tak pernah berhenti. Untung tempat tinggalnya berada di atas ketinggian. Andai seperti Jakarta -kata orang-, mungkin kampungnya akan menjelma jadi Danau. Ayah dan ibunya sudah berangkat kerja, ke ladang orang. Hujan tak jadi masalah. Karena memang kerja orang tuanya membabat rumput yang mudah sekali tumbuh di musim hujan ini. Kosong tatapannya. Pikirannya menerawang, menembus sekat-sekat ruang.
“Ma’afkan Ibu dan Ayah, Nak. Ayah dan Ibu ingin lihat kamu jadi orang. Tapi, kehidupan kita saat ini tidak memungkinkan untuk itu.”
Masih kuat terekam perkataan Ibunya itu. Ia melihat jelas buliran menetes dari kedua bola mata ibunya. Ingin ia menampung air itu. Tapi, ia tak kuasa. Ia masih terlalu kecil untuk itu. Apa yang bisa dikerjakan oleh anak sementah dia. Entahlah. Ia bingung. Dahinya berkerut. Dadanya bergelombang, menerjang dinding ketabahan. Terkadang ia sesak merasakan benturan kuat itu. Ia hanya bisa mengelus dada. Menenangkan badai gelombang yang menerjang.
****
“Apa tidak ada jalan lain, Pak. Ibu iba lihat Ena. Ibu sering melihat murung. Ibu takut terjadi apa-apa dengan dia.” Wanita paruh baya itu menatap suaminya lekat-lekat. Gurat kekhawatiran tergambar jelas dari rautnya.
“Bapak juga merasakan apa yang Ibu rasakan. Tapi, mau gimana lagi, Bu. Kita sudah tidak punya apa-apa. Cincin satu-satunya pernikahan kita sudah dijual.” Lelaki itu menenangkan istrinya. Tak sanggup ia membalas tatapan istrinya. Ia sudah bekerja sangat keras. Tapi, hasilnya tetap tak bisa mencukupi. Terkadang ia sempat berputus asa. Melihat kehidupan yang tak kunjung membaik. Untung ia selalu ingat nasehat gurunya.
“Pada hakikatnya setiap lorong kehidupan kita adalah ujian. Butuh benteng kesabaran yang tebal. Butuh ketegaran. Jangan pernah mengeluh.”
Masih kuat terekam kata-kata itu. Walaupun waktu sudah bergeser sepuluh tahun kemudian. Begitu mengenanya kata-kata itu. Tanpa diulangpun tetap terpahat di dinding momorinya. Tapi apa daya. Ia tak bisa berbuat apa-apa terhadap nasib selain bekerja dan bekerja. Hingga akhirnya ia lulus dari ujian ini.
“Pak!”
“Ya, Bu?”
“bapak pernah membayangkan tidak, kalau anak-anak kita jadi sarjana.”
“Pernah, Bu. Sering. Tapi, sekarang jangan bahas itu lagi. Bapak tak enak dengarnya.” Ia merasa sangat bersalah. Tak bisa menjadi pemimpin yang baik, yang membahagiakan anak istrinya.
“Maafkan Bapak, ya Bu. Tak bisa buat kalian bahagia. Tapi yakinlah, Bu, dibalik jeruji ujian ini, pasti ada buah manis yang akan kita petik nanti.”
Istrinya menganguk pelan.
“Amiin!”
****
Di rumah mungil itu. Ena tampak sibuk membolak-balik buku-buku. Buku-buku itu adalah hadiah lomba cerdas cermat antar sekolah sekecamatan. Ia berhasil jadi yang terbaik. Padahal persaingan sangatlah ketat. Tapi, kejeliannya menganalisa soal jebakan, buat ia berhasil peroleh kemenangan. Ia tersenyum sendiri mengenang kondisi saat itu. Betapa lucunya mereka semua kena jebakan. Semua melongo, ketika ia menjawab dengan sempurna. Heran.
“Assalamu’alaikum! Ena!”
Ada suara yang memanggilnya dari luar.
Ia berlari kecil menuju asal suara. Didapatinya seorang gadis kecil sebaya dengannya berdiri di halaman.
“Wa’alaikum salam.”
“Eka!” Pekiknya senang. “Tumben kamu ke sini. Ayo masuk. Gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah, baik.”
“Kabar sekolah gimana?” Tanyanya kembali
“Sepi.” Jawab Eka pendek.
“Lho, kenapa?” Ena penasaran
“Semenjak tidak ada kamu, semua sunyi. Kelas terasa sepi.”
“Maksudnya.” Ena tak mengerti.
“Na, kamu itu maskot di di kelas kita. Dan matahari di sekolah. Ketika kamu tidak ada, semua gelap. Bulan pun tak bisa bercahaya.”
Ena terdiam. Tertunduk. Haru. Ia mengerti perasaan teman-temannya. Ia masih ingat bagaimana mereka satu kelas dulu bersaing berebut soal dari bu Guru, siapa dapat dia boleh pulang duluan. Terkadang ada temannya yang tinggal sendiri, karena tak dapat menjawab pertanyaan. Indah sekali memang. Tapi mungkin sudah takdir, ia sekarang tak lagi bisa sekolah. Semenjak krisis, kehidupan keluarganya kritis, hutang menumpuk. Dan harus memaksa ibunya untuk ikut bekerja.
“En!”
“Ya.”
“Sebagai kawan, apa yang bisa kubantu?”
“Aku cuma minta tolong padamu untuk menghidupkan kembali semangat teman-teman. Jika Allah mengizinkan aku akan kembali bersama kalian.” Ena menepu-nepuk pundak sahabatnya.
“Cuma itu?”
“Ya, cuma itu. Salam untuk teman-teman. Ingat! Tetap semangat.”
“Baiklah kalau begitu. Kami menunggu kedatanganmu.”
Ena tersenyum.
****
Ena berlari menghampiri orang tuanya yang baru pulang. Badannya kecilnya menggigil.
“Pak! Pak!”
Belum sanggup ia merangkai kata.
“Ada apa, Na?”
“Orang kemarin! Orang kemarin datang lagi cari bapak. Ia marah-marah.”
Cess!
Ada yang merembes ke dalam dada bapak Ena. Jantungnya meronta. Ingin lepas dari ikatan urat. Takut. Cemas semua jadi satu. Seorang laki-laki gendut mondar-mandir di rumahnya. Perutnya buncit. Rambut keriting. Tangan mengepal-ngepal. Rautnya tak enak untuk dilihat. Tak bersahabat.
“Pak Mui!” Sapa bapak Ena. “Silahkan duduk, Pak.”
“Tak usah basa-basi.” Hardiknya dengan nada tinggi.
“Sekarang sudah melebihi batas waktu. Kalau bapak tetap tak bisa melunasi. Terpaksa saya bawa polisi ke sini.”
Langsung saja ia mencerca tanpa basa-basi. Bapak Ena yang baru pulang kerja sempat terpancing emosinya. Tapi, ia tak bisa apa-apa. Bahkan lebih dari itu, ia hanya akan diam saja.
“Beri kami tenggang lagi, Pak. Kami benar-benar belum punya uang. Kami mohon. Jika telah ada, kami pasti bayar.” Bapak Ena memohon dengan sangat.
“Iya, tapi sampai kapan?! Kemarin Anda juga bilang seperti itu. Saya capek nunggu, Pak.”
“Tolonglah, Pak.”
“Aah!” Mendorong bapak Ena yang mendekat.
Matanya menyapu isi rumah. Rak kayu dari papan, bertumpuk rapi baju-baju di atasnya. Tungku batu tiga. Tiga onggokan kayu bakar menyandar kedinding. Almari piring tua. Tripleks kusam pembatas kamar. Tak ada yang bisa disebut sebagai barang berharga di rumah itu.
“Mana sertipikat rumah?”
Pak Ena dan bu Ena kaget!
“Jangan, Pak.” Ibu Ena memohon.
“Cepat!” Melepaskan kepalan tangannya ke bawah.
Ia berjalan menuju rak kain dari papan. Baru tangannya akan menyentuh.
“Tunggu.”
Bu Ena berjalan mendekat.
“Baik. Jangan sentuh barang-barang saya.”
Lelaki itu tersenyum sinis.
“Semua ini milik saya.” Ucapnya sembarangan. Bu Ena tak ambil pusing. Ia masuk kamar. Tak lama kemudian ia ke luar.
“Ini!” Ibu Ena menyerahkan sertipikat rumah satu-satunya itu.
“Sertipikat ini bisa kalian ambil apabila kalian telah dapat melunasi hutang-hutang. Saya beri tempo dua minggu. Kalau tidak? Terpaksa kalian harus angkat kaki dari rumah ini.”
Lalu lelaki gendut itu berlalu tanpa salam. Mungkin tak pernah diajarkan oleh orang tuanya. Suami istri itu hanya diam. Pasrah.
“Sabar, ya Bu!” Menepuk-nepuk pundak istrinya.
Mengangguk pelan tanpa suara.
“Ya, Pak.”
Di dalam kamar, Ena menangis melihat orang tuanya dimaki-maki. Tidak hanya sekali orang itu mencerca. Dulu, hampir Ayahnya ditonjok. Itu juga sebabnya mengapa ia tidak mau memaksakan kehendak untuk sekolah. Ia mengerti bagaimana kehidupan keluarganya.
“Ibu!”
Ena keluar dari kamar. Memeluk ibunya. Ia merasakan beban yang sangat berat. Kulit wanita itu sudah mulai kendor. Gersang dibakar terik. Kerja keras yang dilakukannya setiap hari, membuat ia tampak tua. Badannya kurus. Rautnya legam.
****
Ia berjalan menapaki jalan kecil itu. Rerumput kecil menari-nari mengikuti irama angin. Di depannya sawah menghampar luas. Jembatan kecil melintang di atas kali kecil. Dari kali itulah penduduk mengairi sawahnya ketika hujan tak datang. Tapi sekarang kali itu meluap, rata. Tanggu-tanggul dan pematang tak terlihat. Jika dilihat dari jauh, hanya satu garis panjang yang membujur. Lalu garis itu dibelah menjadi dua bagian oleh pematang sawah yang dijadikan jalan. Di atas, langit kelabu. Awan putih yang arak-arak tak terlihat, apalagi matahari, mungkin ia malu menampakkan sosok, melihat ketimpangan yang terjadi. Yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah miskin. Ena meniti pematang itu, tak tahu arah langkahnya. Terus saja ia berjalan. Tak seorangpun penduduk yang berlalu-lalang. Semua sudah di medan kerja, mengimas semak-semak yang menjalari pohon-pohon karet atau sawit yang cepat sekali tumbuh. Ayahnya pagi buta sudah meluncur. Hanya ibunya yang tidak ke mana-mana, kurang enak badan. Wajahnya Ena kusut. Ia sedang berpikir bagaimana mencari pintu keluar dari kurungan masalah ini. Otaknya tak henti bekerja, ia yakin pasti ada celah yang bisa mengeluarkan dari gudang masalah ini.
“Ma’af, Kek. Apa kakek butuh seorang pembantu. Saya bisa masak, mencuci dan pekerjaan rumah lainnya.” Ucapnya pada seorang kakek tua yang berpas-pasan denganya. Wajah kakek itu bersih. Rambut, jenggot dan kepalanya sudah mulai memutih. Pakaiannya rapi, meski itu pakaian kerja. Bot hijau panjang menempel di kakinya. Sekilas kakek itu memperhatikan Ena.
“Ena! Nak Ena-kan?” Kakek itu gantian yang bertanya. Seolah ia kenal.
“Iya. Nama saya Ernawati. Panggilan Ena. Kok kakek tahu?”
Kakek itu tersenyum.
“Anak kakek yang cerita.”
“O.” Mulut Ena membentuk bundaran. Ia tak ambil pusing dari mana kakek itu tahu. Yang ia perlu saat ini pekerjaan.
“Ena sedang apa di sini? Tidak sekolah?” kembali kakek itu bertanya.
“Sekarang sudah tidak, Kek.” Jawabnya ringkas.
“Kenapa?”
“Tak ada biaya, Kek.”
“Orang tua kerja apa?” Tanyanya penuh selidik.
“Menerima upah di ladang orang. Sejak krisis Ayah kehilangan pekerjaan.”
“Emang sebelumnya Ayah kerja di mana?”
“PT Sawit Bina Pratama Sekoto Jaya.”
Kakek tersebut terdiam. Naluri iba mengalir deras. Perlahan naluri itu berubah jadi lautan sedih. Tak sepantasnya ia menemukan Ena di pematang sawah ini. Apalagi ini adalah jam sekolah. Ombak tak rela menerjang karang perasaannya.
“Bagaimana tentang pekerjaan tadi, Kek?” Ena memecah lamunan kakek itu.
“Eh, I... iya.” Terbata.
“Besok sore kamu datang ke rumah Kakek. Blok E nomor 331. Sebut saja nama Kakek, Munaf. Insya Allah orang di sana kenal.”
“Terima kasih, kek. Insya Allah saya akan datang.”
Ena melonjak senang. Matanya berbinar. Ia melihat ada secercah cahaya merambat masuk ke celah pintu harapannya. Ia berharap ada pekerjaan yang akan diberikan kakek tersebut. Dan dapat menghidupkan api dapur rumahnya. Sekaligus membeli susu si Ima, adik mungilnya.
“Kakek tunggu kedatangannya.”
“Iya, Kek. Ena akan datang.” Jawabnya semangat.
****
Jantung Ena berdegup kencang. Berlarian. Darahnya mengalir deras mendobrak lorong-lorong nadinya. Senyumnya manisnya perlahan terhenti. Derap langkahnya tertahan. Keringat kecil mulai mencuat dari pori-porinya. Bulu romanya tegak seketika. Perasaan takut muncul. Ia kenal betul dengan rumah yang ada di depannya. Kebun bunga kecil. Pot-pot bunga menggantung. Rumput-rumput jepang yang menumbuhi halaman. Ia hapal betul. Ditambah dengan pohon rambutan sepinggangnya. Bukankah ia dan kawan-kawannya yang menciptakan semua itu, tiga bulan yang lalu. Berbagai pertanyaan meluncur dari busur benaknya. Siapa kakek ini? Kenapa dia tak pernah melihat kakek itu sebelumnya. Ena heran sekaligus ragu untuk menginjak pedal gas kakinya. Tapi janjinya dengan kakek Munaf memaksa ia untuk melangkah.
“Assalamu’alaikum.” Ena memberi salam.
Tak ada yang membalas salamnya. Semua terlihat sepi.
“Apa mungkin kakek Munaf lupa.” Pikirnya.
Tak lama kemudian pintu dibuka. Seorang pemuda tegak di sana. Kacamata tebal menutupi bola matanya. Rambutnya ikal. Kemeja petak-petak kuning berbaur hijau. Celana kain, hitam. Tersenyum ke arah Ena.
“Pak Guru!” Ena kaget.
…………………………………………

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Template Information

Label 6

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Bilik Sastra - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template